Riya

Riya adalah penyakit hati yang akan merusak keikhlasan dalam beramal. Padahal, ikhlas merupakan syarat utama diterimaya amal. Quran memerintahkan manusia agar ikhlas dalam beramal karena ikhlas terkait dengan kemurnian aqidah dan lurusnya tujuan (QS 6:162; 19:110; 98:5).

Allah sangat memuji orang yang beramal dengan dasar keikhlasan yang murni, yakni semata-mata mencari keridhaan Allah (QS 2:265; 11:22; 76:5-10).

Ikhlas merupakan syarat kesempurnaan amal sekaligus pengokoh keimanan. Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi (harta) karena Allah, dan menahan karena Allah, maka imannya menjadi sempurna (H.R Abu Daud). Tali iman yag paling kokoh adalah memberi pertolongan karena Allah, memusuhi karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah (H.R Ath Thayalis, Hakim, dan Thabrani). Ikhlas dalam beramal akan mengundang hadirnya kecintaan Allah.

Dalam sebuah hadits Qudsi dari Ubadah bin Shamit disebutkan, “Allah berfirman, ‘Kecintaaan-Ku layak dimiliki orang-orang yang saling mencinta karena Aku, kecintaan-Ku layak dimiliki orang yang saling menyambung tali persaudaraan karena Aku, kecintaan-Ku layak dimiliki orang-orang yang saling memberi nasihat karena Aku, kecintaan-Ku layak dimiliki orang-orang yang saling berkunjung karena Aku, kecintaan-Ku layak dimiliki orang-orang yang memberi karena Aku. Orang-orang yang saling mencinta karena Aku berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, dan kedudukan mereka sama dengan kedudukan para nabi, shiddiqin, syuhada (H.R Ahmad, Thabrani, dan Hakim).’”

BAHAYA RIYA

Mengingat pentingnya ikhlas dalam bermal, maka Allah SWT mengecam perilaku riya. Di samping itu, Allah mengingatkan orang-orang mukmin akan kesia-siaan suatu amal jika dilakukan karena bermaksud mencari kedudukan atau pujian di sisi manusia (QS 2:264-265; 4:38, 142; 8:47; 107:5-7).

Selain ayat-ayat Quran di atas, banyak hadits yang mengingatkan kita akan bahaya riya. Dalam sebuah hadits shahih diceritakan tentang tiga golongan manusia yang pertama kali dihisab Allah, yaitu syuhada, orang berilmu, dan para dermawan. Sesungguhnya orang yang pertama diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Dia didatagkan ke pengadilan da diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diterimanya, maka dia pun mengakuinya.

Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, “Aku berperang karena Engkau hingga mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta. Engkau berperang supaya dikatakan, ‘Dia adalah orang yang gagah berani’, dan memang begitulah yang dikatakan orang (tentang dirimu).”Kemudian Allah memerintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya (yang diadili) adalah seorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Quran. Dia didatangka ke pengadilan lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat Allah yang telah diterimanya, maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, “Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca Al Quran karena-Mu.”

Allah berfirman, “Engkau dusta. Engkau mempelajari ilmu agar dikatakan, ‘Dia adalah orang yang berilmu’, da begitulah yang dikatakan orang (tentang dirimu).” Kemudian Allah memeritahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberi kelapangan hidup oleh Allah dan juga diberi-Nya berbagai macam harta. Lalu dia didatangkan ke pengadilan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diterimanya, maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, “Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau suka agar dinafkahkan harta, melainkan aku pun menafkahkannya karena-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta. Engkau melakukan hal itu agar dikatakan, ‘Dia seorang pemurah’, dan memang begitulah yag dikatakan orang (tentang dirimu).” Kemudian Allah memerintahkan agar dia diseret dengan wajah tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka (H.R Muslim, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Hiban).

Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Pada hari kiamat (amal-amal manusia) akan didatangkan dalam bentuk catatan-catatan yang disegel untuk diadili di hadapan Allah. Allah berfirman, ‘Tolaklah yang ini dan terimalah yang itu!’ Lalu para malaikat berkata, ‘Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, kami tidak melihat (pada amal-amal yang ditolak itu) melainkan semuanya adalah kebaikan.’ Lalu Allah berfirman, ‘Sesungguhnya amalan itu dilakukan untuk sesuatu selain keridhaan-Ku, dan sesungguhnya Aku tidak menerima kecuali sesuatu yang dimaksudkan untuk mecari keridhaan-Ku (H.R Al Bazzar, Thabrani, dan Baihaqi).”

MENGOBATI RIYA

Al Ghazali memberikan resep untuk menghindari dan mengobati riya yang dibaginya dalam dua tingkatan (maqam). • Maqam pertama adalah dengan mencabut akar-akar yang menjadi penyebab tumbuhnya perilaku riya dengan dua cara berikut ini:

1. Berdasarkan ilmu, yakni dengan mengetahui bahwa akar penyebab riya adalah menghendaki pujian dan sanjungan manusia, menghindari celaan manusia, dan rakus terhadap apa yang ada pada tangan orang lain. Manusia cenderung kepada sesuatu yang diinginkanya karena hal itu baik atau menyenangkan. Tapi jika dia tahu dan yakin bahwa kecenderungan itu justru akan membawa bencana di akhirat, maka tentu akan lebih mudah baginya untuk menghindarinya.

2. Berdasarkan amal, yakni dengan menyembunyikan kebaikan-kebaikan yang dia perbuat sebagaimana dia menutupi keburukan dan kemaksiatan yang pernah dilakukannya.

Maqam kedua adalah dengan menolak lintasa riya yag muncul pada saat melaksanakan ibadah. Jadi ketika seseorang sudah sanggup memandang rendah sanjungan dan celaan serta menjauhi sikap tamak pada dunia, maka dia harus bersiap menghadapi munculnya godaan syetan dengan memunculkan lintasan riya pada saat dia sedang melakukan kebaikan.

Cara lain untuk mengobati riya adalah dengan doa. Rasulullah pernah berpidato dihadapan orang-orag mukmin, “Wahai sekalia manusia, takutlah kepada syirik karena ia lebih halus daripada rayapan semut.” Lalu seseorag bertanya, “Bagaimana cara kita untuk menghindarinya sedangkan ia lebih halus daripada rayapan semut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah, ‘ Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan Egkau dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampun darimu dari (menyekutukanmu dengan) sesuatu yang tidak kami ketahui (H.R Abu Daud dan Tirmidzi).

SEPUTAR MEMPERLIHATKAN AMAL DAN MENINGGALKAN AMAL DALAM KAITANNYA DENGAN RIYA

Menyembunyikan amal adalah salah satu cara untuk meghindari riya. Namun, memperlihatkan atau mempercakapkan amal juga merupakan suatu hal yang terpuji jika dimaksudkan untuk memberi contoh kepada orang-orang lain (QS 2:271). Dalam sebuah hadits riwayat Muslim dinyatakan bahwa, “Barangsiapa yang memulai satu kebaikan maka bagi orang itu Allah sediakan pahala dari amalannya itu serta pahala dari seluruh orang yang mengikutinya dalam melakukan kebaikan yang sama.” Namun, bisa juga muncul suatu bisikan syetan yang lain yang mengajak untuk meninggalkan suatu kebaikan dengan dalih agar tidak riya. Tipu daya yang amat halus ini mesti ditolak dengan tetap melakukan kebaikan tersebut sambil terus menjaga hati agar tidak disentuh oleh bahaya riya. Dalam keadaan seperti ini rasa malu kepada Allah dapat menjadi benteng pelindung: • Malu jika dalam hati terlintas satu keinginan untuk mengganti pujian Allah dengan sanjungan manusia. • Malu jika harus meninggalkan kebaikan padahal dirinya sadar bahwa masih amat kecil dan sedikit pengabdian yang telah dia persembahkan kepada Allah.

Pos ini dipublikasikan di akhlak, Religi dan tag , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar